Senin, 26 April 2010

cintamu sepahit topi miring

Senja di desa Baron
matahari tenggelam dalam kemaron
Lembu betina lari melompat-lompat
dikejar-kejar anaknya yang kecil meloncat
Senja lucu dengan kasih sayang ibu dan anak
langit senja mengandung sapi beranak
terpesona Ranto melihat, ia tertawa bergelak
dan berubah jadi Ranto Gudel, sang pelawak

Jadi Marmoyo di panggung ketoprak
Ranto Gudel meminum arak
Terendam dalam ciu
birahinya berubah jadi biru
Diajaknya Nyai Dasima bercinta
dengan cinta sepahit Topi Miring
Layar dibuka, turun hujan gembukan
Dewi Mlenukgembuk datang
membawa seguling roti cakwe
Marmoyo rebah terguling
tidur di pangkuan Nyai Dasima
yang sekeras ciu cangkol buah dadanya

Ke mana Ranto Gudel pergi
panggung selalu harum dengan arak wangi
Di Sriwedari jadi petruk
Garengnya diajak mabuk
Bagongnya menggeloyor
Semarnya berjualan ciu cangkol
Dengan terang lampu semprong
Pak Mloyo memukul kenong
nong ji, nong ro
giginya ompong menggerong:
Ranto Gudel Mendehem
Nyungsep di Bengawan Solo
di sana ia lalu menyanti:
Itu perahu, riwayatmu dulu
kini sungaimu mengalirkan arak wangi
dengan harumnya aku mandi

Thuyul gundhul ke sana sini mengempit gendul
gendruwo thela-thelo, tampak loyo
jrangkong jalannya miring-miring dhoyong
dhemit setan wedhon
anak-anak Bathari Durga dari bukit Krendhawahana
semuanya mabuk menari-nari:
Sengkuni leda-lede
mimpin baris ngarep dhewe
eh barisane menggok
Sengkuni kok malah ndheprok

Belum selesai menabuh kenong
Nong ji, nong ro
Pak Mloyo pulang geloyoran
Abu-abu wajahnya terendam ciu
Dari jauh Ranto Gudel melihatnya
duduk berjongkok di Bengawan Solo:
Air mengalir sampai jauh
membawa botol-botol cangkol
yang mengapung-apung seperti lampion
nyalanya bundar, seperti kenong
Pak Mloyo terguling ke Bengawan Solo
dengan irama nong ji nong ro
Ranto Gudel tertawa:
Itu perahu botol cangkol
mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut berombak ciu

Malam berpayung hitam
hitam dibuka dengan bulan
Ranto Gudel minum arak bekonang
mengantar gadis pulang, berdandan bidan
roknya putih, bajunya putih
serba putih lebih daripada peri
Tiba di pinggir kali
Ranto Gudel diajak belok ke kiri
Rumahnya temaram
kursinya sedingin batu bulan
Birahinya menyentuh dingin
tergeletak ia di atas kijing
Dhemit elek asu tenan
mengumpat Ranto Gudel geram
Ia marah terendam arak bekonang:
Asu, hampir saja aku bercinta dengan setan

Cinta manusia seperti Umbul Penggung
dulu bening sekarang keruh
dulu kerajaan sekarang desa
Ranto Gudel dengan empat istrinya
tak pernah abadi cintanya

Memang enak jadi wedhus daripada manusia
bila mati, manusia dikubur di gundukan tanah
kepalanya dikencingi wedhus yang merumput
Nasib manusia hanyalah sengsara sampai akhirnya
mengapa kita mesti bersusah?
Hiduplah seperti Joko Lelur
siangnya melamun minum limun
malamnya bangun minum berminum
lapen ciu cangkol arak bekonang

Sekarang di sudut-sudut rumah
botol-botol cangkol dipasangnya
untuk menolak dan menakut-nakuti tikus
Di hari tuanya Mbah Ranto mengenang
bayangkan, ciu cangkol hanyalah spiritus
yang bisa mengusir tikus
padahal dulu aku minum sampai lampus:
Aku memang benar-benar wedhus!

Hueek.
Hueeeeek.
Hueeeeeeeek.
Wis wis......

puisi : Sindhunata

Selasa, 20 April 2010